A. KONSEP
AL-MAUT DALAM AL-QUR`AN
Al-Qur`an merupakan kitab sastra
terhebat dari yang telah ada. Maknanya yang begitu mendalam dan dijadikannya al-Qur`an sebagai tuntunan
umat di dunia sepanjang zaman membuat setiap kalimat yang termaktub
di dalamnya mengandung penuh makna yang terselubung.
Menyingkap makna dari apa yang
di maksudkan dalam setiap kalimat seiring perkembangan zaman dan permasalahan
yang semakin kompleks menimbulkan berbagai penafsiran yang tak sedikit. Dan
dalam kesempatan kali ini, pemakalah mencoba menguraikan sedikit diantara
banyak penafsiran tentang makna al-maut yang terdapat dalam al-Qur`an.
Walaupun al-maut itu sendiri mempunyai banyak sekali
pemaknaan, namun dalam al-Qur`an al-maut lebih banyak
diartikan kematian yang bersifat thabi`i, yakni terpisahnya jiwa
dari raga yaitu sebagaimana yang kita ketahui dari makna al-maut(yakni kematian) itu
sendiri.
Lafadz maut dalam al-Qur`an
sebenarnya terdapat makna-makna lain selain dari apa yang telah kita ketahui
selama ini, yakni berpisahnya jiwa dengan raga, tapi disamping mempunyai makna
tersebut maut sendiri ada yang mengartikan dengan al-kufr, yaitu
pada surat ar-rum ayat 19:
يُخْرِجُ الْحَيَّ مِنَ الْمَيِّتِ
وَيُخْرِجُ الْمَيِّتَ مِنَ الْحَيِّ وَيُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَكَذَلِكَ
تُخْرَجُونَ
Menurut pandangan Imam
as-Shadiq yang menukil pendapat dari musnad Syaikh Ash-Shadduq dalam
kitabnya ma`anil akhbar. Beliau menafsirkan al-mayyit dengan
kafir, dalam ayat itu berarti mukmin dari kafir, dan kafir dari mukmin[1].
Sedangkan makna maut dilihat
berdasarkan dari kondisi hidup dapat dimaknai dengan:
1. Hilangnya
kekuatan yang muncul dan yang telah ada dalam diri manusia, hewan, dan
tumbuhan. Seperti dalam ayat:
-يُحْيِي الْأَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا-أَحْيَيْنَا بِهِ
بَلْدَةً مَيْتًا
2. Hilangnya
kekuatan indrawi:
-يَا لَيْتَنِي مِتُّ قَبْلَ
هَذَا- أَئِذَا مَا مِتُّ لَسَوْفَ أُخْرَجُ حَيًّا
3. Hilangnya
kekuatan `aqliyyah:
-أَوَمَنْ كَانَ مَيْتًا
فَأَحْيَيْنَاهُ-إِنَّكَ لَا تُسْمِعُ الْمَوْتَى
4. Kesusahan
dalam hidup:
-وَيَأْتِيهِ الْمَوْتُ مِنْ كُلِّ
مَكَانٍ وَمَا هُوَ بِمَيِّتٍ
5. Tidur
-وَهُوَ الَّذِي يَتَوَفَّاكُمْ
بِاللَّيْلِ-اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ
تَمُتْ فِي مَنَامِهَا
-إِنَّكَ مَيِّتٌ وَإِنَّهُمْ مَيِّتُونَ
Menurut As-Sabazwary maut
mempunyai dua makna:
1. Maut thabi`iy: kharabnya
badan sebab berpisahnya ruh darinya.
2. Maut ikhtiyary:
mengekang hawa nafsu dan menggantungkan syahwatnya. Yaitu sebagaimana dalam
hadis:
موتوا قبل ان تموتوا وحاسبوا انفسكم
قبل ان تحاسبوا
Jalaluddin rumi menafsirkan
hadis nabi SAW: Mutu qabla an tamutu. Matilah kamu sebelum
kamu mati. Di sini disebut dua kali kata “mati” untuk menunjukkan ada dua
kematian. Kematian pada kata tamutu adalah kematian
alami, almaut al-thabi`i, dan inilah kematian yang kita kenal. Ibnu `arabi dan para sufi lainnya menganggap
kematian ini sebagai kembali kepada Allah secara terpaksa, ruju`
idhtirari. Semua makhluk akan menglami kematian jenis ini, suka ataupun tidak suka. Sedangkan kematian pada kata perintah mutu adalah
kematian mistikal. Kematian ego, atau kematian diri. Ibnu Arabi menyebutnya
dengan maut al-iradi atau kematian keinginan.[2]
Mengenai kematian yang pertama, yakni maut thabi`i Abu Darda` radhiyallahu
`anhuberkata,”Kematian adalah baik bagi setiap mukmin. Barang siapa tidak
mempercayaiku, hendaknya ia membaca wahyu Tuhan Yang Maha Mulia Ini:
وما عند الله خير للابرار
“Dan apa yang
disisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti,”(Ali imran:198)
Hassan bin Aswad
berkata,”Kematian itu baik bagi orang mukmin, karena disitu terjadi pertemuan
antara kekasih dengan yang dikasihi.[3]
Dan menurut imam as-shadiq maut
dapat berarti at-taubah, sebagaimana firman Allah:
فَتُوبُوا إِلَى بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا
أَنْفُسَكُمْ
Maka barang siapa taubat maka sebanarnya
dia telah mematikan dirinya dan kemudian menghidupkannya kembali dengan esensi
kehidupan yang hakiki. Inilah makna dari ungkapan Plato “Matilah dengan keadaan
yang kamu inginkan maka kamu akan hidup dengan alami”.[4]
Kemudian dalam
kitab at-ta`rifat yang penjelasannya sama dengan pendapatAl`Urafa`/kaum Shufi al maut disana
mempunyai 4 makna:
1. Almaut
al ahmar : yaitu mukhalafatunnafsi yang berarti jihad
akbar.
2. Almaut
al abyadh : berarti lapar, diartikan seperti itu karena lapar dapat
menerangi bathin dan memutihkan
(menyucikan) hati.
3. Al
maut al akhdar : yaitu menggunakan pakaian yang dapat menutup aurat
dan yang menjadikan shalat menjadi shah, dinamakan al maut al akhdar karena
hijaunya kehidupan orang yang bersifat seperti itu dengan qana`ah.
B. TAFSIR
AYAT-AYAT KEMATIAN
1. QS. Al-Baqarah (2). 28 :
كَيْفَ تَكْفُرُونَ بِاللَّهِ
وَكُنْتُمْ أَمْوَاتًا فَأَحْيَاكُمْ ثُمَّ يُمِيتُكُمْ ثُمَّ يُحْيِيكُمْ ثُمَّ
إِلَيْهِ تُرْجَعُونَ (28) هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ
شَيْءٍ عَلِيمٌ (29)
28. Mengapa
kamu kafir kepada Allah, padahal kamu tadinya mati, lalu Allah menghidupkan
kamu, Kemudian kamu dimatikan dan dihidupkan-Nya kembali, Kemudian
kepada-Nya-lah kamu dikembalikan?
Ibnu Abbas dan ibnu mas`ud
berkata, ”Maksud ayat ini adalah: Kalian mati atau tidak ada sebelum kalian
diciptakan, lalu Dia menghidupkan kalian pada hari kiamat- maksudnya, Dia
menciptakan kalian- , kemudian Dia mematikan kalian ketika umur kalian sudah
habis, kemudian Dia menghidupkan kalian pada hari kiamat.”
Ada juga yang mengatakan bahwa
hidup didalam kubur tidak termasuk hitungan sebagaimana tidak termasuk hitungan
kematian orang yang Allah matikan didalam dunia lalu Dia menghidupkannya di
dalam dunia.
Menurut ulama lain, maksud ayat
ini adalah: Kalian mati di dalam sulbi adam, kemudian Dia mengeluarkan
kalian dari sulbinya. Kemudian Dia mematikan kalian, yakni kematian dunia.
Kemudian Dia membangkitkan kalian.
Menurut Ulama` lain lagi,
maksud ayat ini adalah: Kalian mati –yakni dalam bentuk mani- di sulbi(tulang
rusuk) kaum laki-laki dan rahim kaum perempuan-, kemudian Dia memindahkan
kalian dari rahim ke alam dunia maka Diapun menghidupkan kalian. Kemudian Dia
mematikan kalian setelah kehidupan ini. Kemudian Dia menghidupkan kalian
didalam kubur untuk diminta pertanggungjawaban semasa didunia. Kemudian Dia
mematikan kalian didalam kubur. Kemudian Dia menghidupkan kalian, kehidupan
kebangkitan ke padang mahsyar. Inilah kehidupan yang setelahnya tidak ada lagi
kematian.
Menurut al Qurthubi berdasarkan
takwil ini, berarti ada tiga kehidupan dan tiga kematian. Lalu, keadaan mereka
mati di sulbi Adam dan di keluarkannya mereka dari sulbinya berbeda dengan
keadaan mereka sebagai air mani di sulbi kaum laki-laki dan rahim perempuan.
Berdasarkan hal ini, berarti ada empat kematian dan empat kematian. Lalu, ada
yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah SWT mengadakan mereka sebelum
menciptakan Adam AS seperti debu, kemudian Dia mematikan mereka. Dengan
demikian, berarti ada lima kematian dan lima kehidupan.
Ada lagi kematian keenam, yaitu
bagi orang-orang yang melakukan maksiat dari umat nabi Muhammad SAW, apabila
mereka masuk
neraka. Hal ini berdasarkan hadis Abu sa`id Al Khudri, dia berkata,”Rasulullah
SAW bersabda,
اما اهل النار الذين هم اهلها فانهم
لا يموتن فيها و لا يحيون, ولكن ناس اصابتهم النار بذنوبهم-او قال بخطاياخم- فاماتهم
امامة حتى اذا كانو فحما اذن با الشفاعة, فجئ بهم ضبائر ضبائر فبثوا على انهار
الجنة, ثم قيل: يت تهل الجنة افيضوا عليهم, فينبتون نبات الجنة تكون في حميل
السيل, فقال رجل من القوم: كان رسول الله صلى الله عليه و سلم قد كان يرعي
بالبادية
Adapun ahli neraka
yang memang ahli neraka, maka mereka tidak mati dan juga tidak hidup didalamnya.
Akan tetapi ada orang-orang yang dibakar oleh api karena dosa-dosa mereka –atau karena
kesalahan-kesalahan mereka-lalu Allah mematikan mereka dengan sebuah kematian,
hingga, apabila mereka telah menjadi orang, syafaat diberikan. Merekapun dibawa
satu rombongan satu rombongan. Lalu mereka diceburkan sungai-sungai surga.
Kemudian di katakan, “Hai ahli surga, tuangkan-air- kepada mereka, maka mereka
tumbuh seperti tumbuhnya biji yang dihanyutkan oleh arus air banjir, seorang
laki-laki dari sahabat berkata, “seakan-akan Rasulullah SAW pernah mengembala
kambing didesa.[6]
Sabda Rasulullah SAW ,”lalu
Allah mematikan mereka”, maksudnya adalah benar-benar mati, sebab
beliau menguatkannya dengan lafadz mashdar (dengan sebuah kematian-yakni
lafadz imaatatan-). Hal ini adalah kemuliaan bagi mereka. Namun ada
juga yang mengatakan bahwa: “Allah mematikan mereka” itu adalah
ungkapan hilangnya kepedihan mereka dengan tidur, bukan benar-benar mati. Akan
tetapi pendapat yang pertama adalah yang paling benar.
Terdapat istilah lain yang
digunakan Al Qur`an untuk menunjuk kepada kematian, antara lain al wafat. Yaitu
sebagaimana ayat berikutnya.
2. QS.
Al-Zumar (39). 42 :
اللَّهُ يَتَوَفَّى الْأَنْفُسَ
حِينَ مَوْتِهَا وَالَّتِي لَمْ تَمُتْ فِي مَنَامِهَا فَيُمْسِكُ الَّتِي قَضَى
عَلَيْهَا الْمَوْتَ وَيُرْسِلُ الْأُخْرَى إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى إِنَّ فِي ذَلِكَ
لَآَيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ (42)
42. Allah memegang jiwa
(orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu
tidurnya; Maka dia tahanlah jiwa (orang) yang Telah dia tetapkan kematiannya
dan dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditetapkan. Sesungguhnya
pada yang demikian itu terdapat tanda- tanda kekuasaan Allah bagi kaum yang
berfikir.
Maksud dari ayat di atas adalah
orang-orang yang mati, rohnya ditahan oleh Allah sehingga tidak dapat kembali
kepada tubuhnya; sedangkan orang-orang yang tidak mati dalam arti hanya tidur
saja, rohnya dilepaskan, sehingga rohnya dapat kembali kepadanya lagi.
3. QS. Al-Mukmin/Al-Ghafir (40). 11 :
قَالُوا رَبَّنَا أَمَتَّنَا
اثْنَتَيْنِ وَأَحْيَيْتَنَا اثْنَتَيْنِ فَاعْتَرَفْنَا بِذُنُوبِنَا فَهَلْ
إِلَى خُرُوجٍ مِنْ سَبِيلٍ (11)
11. Mereka
menjawab: "Ya Tuhan kami Engkau Telah mematikan kami dua kali dan Telah
menghidupkan kami dua kali (pula), lalu kami mengakui dosa-dosa kami. Maka
Adakah sesuatu jalan (bagi kami) untuk keluar (dari neraka)?"
Kalau dalam penjelasan
sebelumnya disinggung ada enam kematian, dalam ayat ini terdapat dua kematian.
Kematian oleh mayoritas ulama didefinisikan sebagai “ketiadaan hidup”atau ”antonim
dari hidup”. Kematian pertama di alami oleh manusia sebelum
kelahirannya, atau saat sebelum Allah menghembuskan ruh kehidupan kepadanya;
sedang kematian kedua, saat ia meninggalkan dunia yang fana ini. Keidupan
pertama dialami oleh manusia pada saat manusia menarik dan menghembuskan nafas
di dunia, sedang kehidupan kedua saat ia berada di alam barzakh, atau kelak
ketika ia hidup kekal di hari akhirat.
Al-Qur`an berbicara tentang
kematian dalam banyak ayat. Sementara pakar memperkirakan tidak kurang dari
tiga ratusan ayat yang berbicara tentang berbagai aspek kematian dan kehidupan
sesudah kematian kedua.[7]
Kematian walaupun kelihatannya
adalah kepunahan, tetapi pada hakekatnya adalah kelahiran yang kedua. Kematian
manusia dapat diibaratkan dengan menetasnya telur-telur. Anak ayam yang
terkurung dalam telur, tidak dapat mencapai kesempurnaan evolusinya kecuali
apabila ia menetas. Demikian juga manusia, mereka tidak akan mencapaia
kesempurnaannya kecuali apabila meninggalkan dunia ini (mati). Kesempurnaan ini
dapat diraih apabila ia dapat menyucikan dirinya secara terus menerus,
sebagaimana firman Allah:
4. QS. Al-Mulk (67). 1-2 :
تَبَارَكَ الَّذِي بِيَدِهِ
الْمُلْكُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ (1) الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ
وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلًا وَهُوَ الْعَزِيزُ
الْغَفُورُ (2)
1. Maha Suci Allah yang di
tangan-Nyalah segala kerajaan, dan dia Maha Kuasa atas segala sesuatu,
2.
Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu
yang lebih baik amalnya. dan dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun,
Demikian terlihat bahwa
kematian dalam pandangan islam bukanlah sesuatu yang buruk, karena disamping
mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya kepada Tuhan dalam
kehidupan dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan
abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.[8]
60. Dan
dialah yang menidurkan kamu di malam hari dan dia mengetahui apa yang kamu
kerjakan di siang hari, Kemudian dia membangunkan kamu pada siang hari untuk
disempurnakan umur(mu) yang Telah ditentukan (kamu ditidurkan di malam hari dan
dibangunkan di siang hari, supaya dengan perputaran waktu itu habislah umurmu
yang Telah ditentukan), Kemudian kepada Allah-lah kamu kembali, lalu dia
memberitahukan kepadamu apa yang dahulu kamu kerjakan.
Dalam ayat-ayat
sebelumnya al-maut diidentikkan artinya hanya pada kematian,
dalam ayat ini al-maut diartikan dengan tidur. Ibnu katsir memberikan tanggapan
mengenai ayat ini bahwa sebenarnya mati ada dua pemaknaan, yaitu kematian shughra dan
kematian kubra. Maut yangshughra diartikan tidur,
karena sebenarnya ketika manusia itu tidur, roh yang ada pada jiwanya dilepas,
sehingga dapat kembali kedalam jasad, sedangkan maut yang kubra, yang bermakna
meninggal, rohnya ditahan oleh Allah.[9]
164.
Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan
siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan
apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu dia
hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan dia sebarkan di bumi itu segala
jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan
bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum
yang memikirkan.
Sedangkan al-maut disini diartikan
hilangnya kekuatan yang muncul dan yang tengah ada dalam diri manusia, hewan,
dan tumbuhan. Dalam ayat ini, bumi yang dulunya bagitu kering,[10] telah
diubah oleh Allah menjadi sesuatu yang serba bermanfaat bagi manusia. Bumi yang
dulunya panas dan tidak ada sumber kehidupan ini dimaknai dengan kematian bumi.
Dan kemudian dalam kalimat selanjutnya, Allah menghidupkan bumi dengan
mengguyurnya dengan air hujan dan menumbuhkan berbagai tumbuhan dan hidup
karenanya berbagai hewan, dan manusia. Dan ini adalah salah satu pertanda
akan kebesaran-Nya.
PENUTUP
Mati, merupakan salah satu
kalimat yang terkandung dalam lafadz al-maut dalam bahasa arab, dan yang
penulis bahas pada paper pendek ini. Berbicara
mengenai kematian bukanlahsuatu hal yang
mudah, sebab, disamping pengetahuan manusia tentang hal tersebut sangat
terbatas, juga karena kesedihan dan ketakutan sering meliputi situasi
pembicaraannya.[11]
Kematian bukanlah "bencana"
yang harus dilupakan, melainkan pelajaran penting yang mengajarkan kepada
manusia arti hidup yang sebenarnya. Dengan demikian, kematian seharusnya
menjadi bahan pemikiran yang mendalam. Seorang muslim akan benar-benar
merenungi kenyataan penting ini dengan kesungguhan dan kearifan. Mengapa semua
manusia hidup pada masa tertentu dan kemudian mati? Semua makhluk hidup tidak
kekal. Ini menunjukkan bahwa manusia tidak memiliki kekuatan dan tidak mampu
menandingi Kekuasaan Allah. Allahlah satu-satunya Pemilik kehidupan; semua
makhluk hidup dengan kehendak Allah dan akan mati dengan kehendak-Nya pula,
seperti dinyatakan, "Semua yang ada di bumi itu akan binasa. Dan tetap
kekal Wajah Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan." (ar-Rahmaan:
26-27)
Setiap orang akan mati, namun tak
seorang pun dapat memperkirakan di mana dan kapan kematian akan menghampiri.
Tidak seorang pun dapat menjamin ia akan hidup pada saat berikutnya. Karena
itu, seorang muslim harus bertindak seolah-olah mereka sebentar lagi akan
didatangi kematian. Berpikir tentang kematian akan membantu seseorang
meningkatkan keikhlasan dan rasa takut kepada Allah, dan mereka akan selalu
menyadari akan apa yang sedang menunggunya. Dan
itulah ujung dan tujuan dari kesemuanya.
DAFTAR PUSTAKA
Shihab, M. Quraish. Wawasan
Al-Quran. Bandung: Mizan,1996.
Adyamah, Salih. Mustalahat
Qur`aniyyah. Beirut: Aljami`ah Al Alamiyyah II al ulum, 1994.
Rakhmat, Jalaluddin. Meraih
Cinta Ilahi Pencerahan Sufistik. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000.
Qurthubi, Imam. Menyingkap
Misteri Kematian At Tadzkirah, terj.Ali Ridho Maulechela dan Ali
al-Mutamakkin, Solo: Pustaka Zawiyah, 2005.
Adyamah, Salih. Mustalahat
Qur`aniyyah. Beirut: Aljami`ah Al Alamiyyah II al ulum, 1994.
Al Qurthubi, Syaikh Imam. Tafsir
Al Qurthubi, terj. Fathurrahman, Ahmad Hotib, dan Nashirul Haq Jakarta:
Pustaka Azzam, 2007.
Shihab, M. Quraish. Membumikan
Al-Qur`an. Bandung: Mizan, 1992.
[1]Salih Adyamah, Mustalahat Qur`aniyyah (Beirut:
Aljami`ah Al Alamiyyah II al ulum, 1994), hlm. 393
[2]Jalaluddin Rakhmat, Meraih Cinta Ilahi
Pencerahan Sufistik (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2000), hlm. 116
[3], Imam Qurthubi, Menyingkap Misteri
Kematian At Tadzkirah, terj.Ali Ridho Maulechela dan Ali al-Mutamakkin (Solo: Pustaka
Zawiyah, 2005), hal. 11
[4] Salih Adyamah, Mustalahat Qur`aniyyah (Beirut:
Aljami`ah Al Alamiyyah II al ulum, 1994), hlm. 393
[5] Warna yang dimaksud bukanlah merupakan patokan yang
bersifat seperti qaidah, namun hanya sebagai simbol pemaknaan para ulama
tashawwuf mengenai sifat-sifat yang dimaksudkan didalamnya.
[6] Syaikh Imam Al Qurthubi, Tafsir Al Qurthubi,
terj. Fathurrahman, Ahmad Hotib, dan Nashirul Haq (Jakarta: Pustaka Azzam,
2007), hal. 559
[10] Kerena panasnya suhu matahari, inilah yang dimaksud
tidak adanya sumber kehidupan di bumi, dan inilah yang dimaksud dengan kematian
bumi, yakni tidak adanya kehidupan yang muncul dari bumi.
No comments:
Post a Comment