Thursday, February 25, 2016

Pengertian dan Pengamalan Aswaja Secara Manhaji

Pengertian dan Pengamalan Aswaja Secara Manhaji
KH. Afifuddin Muhajir
Islam adalah Agama rahmah, ramah, dan indah. Agama ini benar-benar menjadi rahmah, ramah, dan indah apabila dipahami, diamalkan dan didakwahkan dengan cara yang indah, dan sebaliknya, Agama ini akan tercoreng apabila tidak dipahami dengan benar atau tidak didakwahkan dengan cara yang yang tidak benar. Keindahan Agama Islam salah satunya terlihat dari watak “wasathiyah” dan “musamāhah” yang memang merupakan ciri khas paling menonjol dari Agama ini.
Bahwa wasathiyah merupakan watak Agama Islam dinyatakan oleh Allah swt. di dalam al-Quran:
وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا [البقرة/143]
Wasathiyah yang dalam bahasa Indonesia diterjemahkan dengan “moderasi” memiliki beberapa makna sebagai beriukt:
1. Keadilan diantara dua kedhaliman (عدلبينظلمين)atau kebenaran diantara dua kebatilan (حقبينباطلين). Contohnya terlihat dalam ayat berikut:
وَالَّذِينَ إِذَا أَنْفَقُوا لَمْ يُسْرِفُوا وَلَمْ يَقْتُرُوا وَكَانَ بَيْنَ ذَلِكَ قَوَامًا [الفرقان/67]
وَلَا تَجْعَلْ يَدَكَ مَغْلُولَةً إِلَى عُنُقِكَ وَلَا تَبْسُطْهَا كُلَّ الْبَسْطِ فَتَقْعُدَ مَلُومًا مَحْسُورًا  [الإسراء/29] 
2. Penggabungan antara dua hal yang berbeda (جمعبينامرين), seperti penggabungan antara aspek rohaniyah dan jasmaniyah, antara dunia dan akhirat, antara nash dan ijtihad dan antara dalil naqli dan dalil ‘aqli (صحيحالمنقولوصريحالمعقول).
3. Keseimbangan (توازن), seperti keseimbangan antara rasa optimis (رجاء) dan pesimis (خوف), antara targhīb dan tarhīb. Orang yang lebih menonjol rasa khaufnya diberi motivasi (ترغيب) dan orang yang lebih menonjol rasa raja’nya ditakut-takuti (ترهيب).
4. Realistis (واقعية). Kita memiliki banyak kaidah yang menjadi bukti bahwa Islam berwatak realistis selain wataknya yang idealistik. Misalnya:
تغيّر الفتوى بتغيرالظروف الأزمنة والأمكنة 
(Fatwa hukum bisa berubah dengan berubahnya situasi dan kondisi)
اختلاف الفتوى باختلاف حال المستفتى
(Perbedaan fatwa dengan perbedaan kondisi orang yang meminta fatwa)
اذا ضاق الامر اتسع واذا اتسع ضاق
(Dalam kondisi sempit ada kelapangan dan dalam kondisi lapang ada kesempitan)
النزول الى الواقع الادنى عند تعذر المثل العلى
(Rela dengan bumi realitas setelah tidak mungkin menggapai langit idealitas)
Toleransi (تسامح)sebagai watak Agama Islam berbeda dengan justifikasi. Toleransi tidak berarti membenarkan sesuatu yang diyakini tidak benar. Toleransi adalah menghargai perbedaan dan memahaminya sebagai bagian dari sunnatullah. Al-Quran yang menyatakan bahwa Agama yang benar adalah Agama Islam dalam waktu yang sama menyatakan bahwa tidak boleh ada pemaksaan dalam Agama.
Dalam konteks perbedaan yang terjadi di kalangan umat Islam, ada pertanyaan yang penting dijawab, yang mana yang sesungguhnya lebih baik, ittifāq atau ikhtilāf? Pertanyaan ini muncul karena ada hadits yang menyatakan:
اختلاف امتى رحمة 
Dengan naluriah kemanusiaan, semua orang akan mengatakan bahwa ittifāq lebih baik dari ikhtilāf, tapi ini tidak berarti bahwa ikhtilāf merupakan suatu kesesatan. Al-Alusi di dalam tafsirnya mengemukakan pendapat As-Subki yang membagi ikhtilaf di kalangan umat Islam kepada tiga bagian:
1. Ikhtilāf dalam ushūl (prinsip-prinsip Agama). Inilah yang disinyalir oleh Allah swt. melalui firman-Nya:
وَلَا تَكُونُوا كَالَّذِينَ تَفَرَّقُوا وَاخْتَلَفُوا مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْبَيِّنَاتُ [آل عمران/105]
2. Ikhtilāf dalam siasat perang. Dalam soal ini pun seharusnya tidak boleh terjadi ikhtilāf, karena berakibat pada hancurnya kepentingan Agama dan dunia.
3. Ikhtilāf dalam furū’ (cabang-cabang Agama), seperti ikhtilāf dalam soal halal dan haram. Dalam soal ini pun pada dasarnya tetap lebih baik ittifāq dari pada ikhtilāf, tetapi diakui bahwa di situ ada dimensi kemudahan dan kemurahan. Itulah makna dari hadits اختلافامتىرحمة. Meski hadits ini masih dipersoalkan keshahihannya, namun kandungan artinya banyak didukung oleh ucapan-ucapan salaf shalih, misalnya pernyataan khalifah Umar ibnu Abdul Aziz:
ما سرني لو أن اصحاب محمد لم يختلفوا لانهم لو لم يختلفوا لم تكن رخصة 
Setelah terjadi firqah-firqah di dalam tubuh kaum muslimin, tawassuth dan tasāmuh sebagai ciri khas Agama Islam melekat di firqah yang dikenal dengan nama Ahlussunnah Waljama’ah, yaitu golongan umat Islam yang berpegang teguh pada apa yang diajarkan, diamalkan dan diteladankan oleh Nabi saw. dan diterima serta diamalkan oleh para sahabat, tabi’in, tabi’ittabi’in, dan seterusnya. Kata “jama’ah” adalah sebagai isyarah yang mencirikan golongan ini, bahwa di kalangan mereka tidak terjadi khilāf khusus yang sah dijadikan alasan untuk saling mengkafirkan, menyesatkan, atau membid’ahkan.
Watak tawassuth dan tasamuh yang melekat dengan golongan Aswaja tidak terlepas dari manhaj yang mereka gunakan dalam upaya memahami teks suci (Alquran dan Assunnah) sebagai sumber ajaran Islam. Pertama-tama mereka sepakat bahwa sumber ajaran Islam adalah kitab Allah dan sunnah Rasulullah sedangkan akal berperan sebagai alat untuk memahami dan menjelaskan makna yang dimaksud dari dua kitab tersebut. Besar kecilnya peran akal bergantung pada masalah yang dibahas dalam kaitannya dengan nash yang menjadi acuannya. Peran itu bisa saja sangat kecil bila masalah yang dibahas memiliki acuan nash yang sangat jelas dan tegas, dan sebaliknya, peran itu sangat besar bila persoalan yang dibahas tidak memiliki acuan nash secara langsung atau masih ada multi tafsir.
Dalam manhaj Ahlussunnah, ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dilakukan di dalam mengkaji nash sehingga diperoleh makna yang benar dan maslahat. Hal-hal itu adalah sebagai berikut:
1. Pengkaji memiliki pengetahuan yang cukup tentang kaidah-kaidah bahasa.
2. Memperhatikan sabab al-nuzūl atau sabab al-wurūd baik yang mikro maupun yang makro.
3. Mengaitkan nash yang dikaji dengan yang lain, mengaitkan ayat dengan ayat, hadits dengan hadits, ayat dengan hadits dan hadits dengan ayat, seperti mengaitkan sabda nabi saw. كلبدعةضلالة dengan sabdanya مناحدثفىامرناهذافليسمنهفهورد.
4. Mengaitkan nushūsh al-syar’iyah dengan maqāshidu al-syarī’ah.
Antara nushūsh dengan maqāshid ada hubungan saling memerlukan. Maqāshid memerlukan nushūsh, karena tanpa ada nushūsh tidak ada maqāshid. Di pihak lain, untuk memahami nushūsh secara benar perlu memperhatikan maqāshid.
5. Mengaitkan nash dengan realita lapangan.
Dalam dunia ijtihad dikenal adanya dua macam ijtihad:
a. Ijtihad dalam tatanan تخريجالمناط, yaitu ijtihad yang dilakukan untuk melahirkan hukum dari nash atau dalil.
b. Ijtihad dalam tatanan تحقيقالمناط,yaitu ijtihad yang dilakukan dalam rangka menerapkan hukum pada realita. Maka yang diperlukan mujtahid selain فقهالنص adalah فقهالواقع.
6. Ta’wīlun nushūsh. Yakni memalingkan lafad dari makna yang tampak kepada makna yang tersembunyi, atau dari makna primernya kepada makna sekundernya, ketika ada alasan dalil yang memintanya.
7. Mengembalikan nash-nash yang mutasyabih kepada nash-nash yang muhkam (ردالمتشابهاتالىالمحاكمات).

No comments:

Post a Comment